Sabtu, 03 Maret 2012

KONSEP IMAN MENURUT PANDANGAN KHAWARIJ DAN MURJI’AH


RESUME ILMU KALAM
KONSEP IMAN MENURUT PANDANGAN KHAWARIJ DAN MURJI’AH
IMAN DAN KUFUR DALAM ALIRAN THEOLOGI
Konsep iman dan kufur menurut perbincangan aliran theologi Islam seperti yang terlihat dalam berbagai literatur ilmu kalam, acapkali lebih menitik beratkan pada satu aspek saja dari dua term; “iman atau kufur”. Ini dapat dipahami, sebab kesimpulan tentang konsep iman bila dilihat kebalikannya, juga berarti kesimpulan tentang konsep kufur.
Menurut Hasan Hanafi, setidaknya ada empat istilah kunci biasanya dipergunakan oleh para theology Muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu :
1.      Ma’rifah bi al-aql; mengetahui dengan akal
2.      Amal; perbuatan baik atau patuh
3.      Iqrar; pengakuan secara lisan dan
4.      Tasdiq; membenarkan dalam hati
Keempat istilah kunci tersebut terdapat dalam hadits Rasul SAW yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Said Al-Khudri, yang artinya: “Barang siapa diantaramu yang melihat (ma’rifah) kemungkaran, maka hendaklah kamu mengambil tindakkan fisik, jika engkau tidak kuasa, maka rubahlah dengan ucapanmu, jika dengan itupun engkau tidak mampu melakukannya, maka lakukanlah dengan kalbumu (akan tetapi yang terakhir) ini merupakan iman yang paling lemah.” Uraian dibawah ini merupakan tentang konsep iman dan kufur serta status pelaku dosa besar menurut masing-masing aliran theologi Islam.
Agenda persoalan yang masalah pertama-tama timbul dalam theologi Islam adalah masalah Iman dan kufur. Persoalan tersebut pertama kali dimunculkan oleh kaum khawarij ketika mencap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi SAW yang mereka pandang telah melakukan dosa besar, seperti Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Supyan, Abu Musa Al-Asy’ari, Amer bin Al- Ash, Thalhah bin Ubaidillah. Zubair bin Awwam dan Aisyah istri Rasulullah SAW.Masalah ini kemudian dicuatkan oleh golongan khawarij bahwa setiap pelaku dosa besar adalah kafir.
Pernyataan theologi khawarij seperti itu selanjutnya menjadi bahan perbincangan dalam setiap diskursus aliran-aliran theology Islam yang tumbuh kemudian seperti aliran Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah turut ambil bagian dalam polemik teresbut, dan tidak jarang didalam masing-masing aliran tersebut terdapat lagi nuansa perbedaan antara pengikutnya.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan diskursus yang berkembang dalam pemikiran aliran-aliran theologi Islam itu, dikhususkan masalah konsep Iman dan kufur serta status pelaku dosa besar. Pertanyaan utamanya adalah bagaimana status orang yang melkukan dosa besar?, apakah ia masih dimasukkan sebagai orang yang beriman atau kafir?, konsep pokok apa saja yang menjadi inti konsep iman? Dan lainnya.
Aliran Khawarij
Sebagai sebuah aliran yang lahir dari peristiwa politk, maka pendirian theologi Khawarij terutama yang brkaitan masalah iman dan kufur sebenarnya lebih bertendensi pada masalah politis ketimbang ilmiah teoritis. Kebenaran ini tidak dapat disangkal, karena seperti yang telah diungkapkan dalam sejarah Khawarij yang mula-mula memunculkan persoalan theologis seputar makalah “ Apakah Ali dan pendukungnya ialah kafir atau masih tetap mukmin?, Apakah Mu’awiyah dan pendukungnya masih tetap mukmin atau telah menjadi kufur?” Jawaban dari pertanyaan ini yang kemudian menjadi pijakan dasar dari theologi mereka. Dalam hal ini mereka berpendapat, karena Ali dan Mu’awiyah telah melakukan tahkim maka mereka telah melakukan dosa besar dan semua pelaku dosa besar ( murtakib al-kabirah), menurut semua sub sekte aliran khawarij adalah kafir dan disiksa selama-lamanya di dalam neraka kecuali sekte Najdah.
Lain halnya dengan Azariqah, mereka tidak menggunakan kafir pada mereka yang melakukan dosa besar. Istilah yang mereka gunakan adalah musyrik bagi siapa saja umat islam yang tidak mau bergabung dengan mereka. Sedangkan bagi pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status menjadi kafir millah (agama), dan itu berarti mereka telah keluar dari agama islam serta kelak dalam neraka bersama-sama orang kafir lainnya. 
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah. Akan tetapi mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan.  Tepatnya iman bagi Khawarij merupakan pembenaran dalam hati, diucapkan dengna lidah dan dilakukan dengan perbuatan. Oleh karena itu segala perbuatan yang bersifat keagamaan, adalah merupakan bagian dari keimanan, maka logikanya siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya tetapi tidak melakukan kewajiban agama bahkan melakukan perbuatan dosa, oleh Khawarij telah dipandang sebagai kafir. 
Najdah tidak jauh berbeda dengan Azariqah kepada umat islam yang tidak mau bergabung ke dalam kelompok mereka, maka predikat yang sama disandangkan pula oleh Najdah kepada siapapun umat islam yang secara terus menerus mengerjakan dosa kecil.
Lain halnya dengan sub sekte Khawarij yang moderat yaitu kelompok Ibadiyah memiliki pandangan yang berbeda dengan kelompok Azariqah dan An-Najdah, baginya setiap pelaku dosa besar adalah mukmin yaitu sebagai muwabid (yang mengesakan Tuhan), tetapi bukan mukmin. Pendeknya ia tetap disebut kafir, hanya merupakan kafir nikmat dan bukan kafir millah (agama).  Mengenai perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai dosa besar dan dapat membawa kekufuran. Agaknya Khawarij tidak menjelaskan secara konseptual, kecuali sekte supriyah. Sekte ini memilah dosa besar menjadi dua bagian.  
Pertama. Dosa yang ada hukumannya didunia seperti zina; kedua, dosa yang tidak ada hukumannya didunia seperti meninggalkan shalat dan puasa. Pelaku dosa besar yang pertama tidak dipandang kafir, tetapi pelaku dosa besar yang kedua dengan mereka anggap telah menjadi kafir. Khawarij cenderung menyamaratakan semua perbuatan dosa sebagai dosa besar yang menggiring kepada kekufuran. Dalam paham mereka lebih banyak tertuju pada sangsi langsung bagi seseorang yang melakukan dosa besar. Hal ini dapat dimengerti karena perbuatan merupakan unsur terpenting dalam konsep iman menurut Khawarij.
kufur/kafir adalah orang yang tidak percaya/tidak beriman kepada Allah baik orang tersebut bertuhan selain Allah maupun tidak bertuhan, seperti paham komunis (ateis). Kufur ialah mengingkari Tauhid, Kenabian, Ma’ad, atau ragu terhadap kejadiannya, atau mengingkari pesan dan hukum para nabi yang sudah diketahui kedatangannya dari sisi Allah SWT. Ciri dari kekufuran adalah mengingkari secara terang-terangan terhadap suatu hukum Allah SWT yang mereka tahu tentang kebenarannya dan mereka memiliki tekad untuk memerangi agama yang hak. Dari sinilah syirik (mengingkari tauhid) termasuk salah satu ciri konkret dari kekufuran. Oleh karena itu orang-orang kufur/kafir sangatlah dimurkai oleh Allah SWT karena mereka tidak melaksanakan ketentuan- ketentuan yang telah digariskan oleh Allah. Adapun kufur/kafir sangatlah erat kaitannya atau hubungannya dengan keadaan-keadaan yang menyesatkan seperti syirik, nifak, murtad, tidak mau bersyukur kepada Allah SWT, dan lain sebagainya.
Aliran khowarij
Sebagai keolompok yang lahir dari peristiwa politik, pendirian teologi Khowarij terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur lebih bertendensi politis ketimbang ilmiah-teoretis. Kebenaran pernyataan ini tak dapat di sangkal karena, seperti yang telah diungkapkan oleh sejarah, Khowarij mula-mula memuncul persoalan teologis seputar masalah, “apakah Ali dan pendukungnya adalah kafir atau tetap mukmin?” “apakah Mu’awiyah dan pendukungnya adalah kafir atau tetap mukmin?” jawaban atas pertayaan itu kemudian menjadi pijakan atas dasar dari teologi mereka. Menurut mereka, karena Ali dan Mu’awiyah beserta para pendukungnya telah melakukan tahkim kepada manusia, berarti mereka telah berbuat dosa besar. Dan semua pelaku dosa besar (mutabb al kabirah), menurut semua subsekte Khowarij, kecuali Najdah, adalah kafir dan disksa di neraka selamanya. Subsekte Khowarij yang sangat ekstrim, Azariqoh, menggunakan istilah yang lebih “mengerikan” dari pada kafir yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung ke dalam barisan mereka, sedangkan pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan itu berarti telah keluar dari Islam. Si kafir semacam ini akan kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya.
Subsekte Najdah tak jauh berbeda dari Azariqah. Kelau Azariqah memberikan prediket musyrik kepada umat Islam yang tidak mau bergabung dengan kelompok mereka, Najdah pun memberikan prediket yang sama kepada siapapun dari umat Islam yang secara berkesinambungan mengerjakan dosa kecil. Akan halnya dosa besar, bila tidak dilakukan secara kontinu, pelakunya tidak pandang musyrik, tetapi kafir. Namun, jika pelakunya melaksanakan terus menerus, ia akan menjadi musyrik.
Iman dalam pandangan Khowarij, tidak semata-mata percaya kapada Allah. Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religius, temasuk di dalamnya masalah kekuasaan adalah bagaian dari keimanan ( الأمل جزع من الإيمن). Dengan demikian, siapa pun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah Rosul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama dan mala melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh Khowarij.
Lain halnya dengan subsekte Khowarij yang sangat moderat, yaitu ibadiyah. Subsekte ini memiliki pandangan bahwa setiap pelaku dosa besar tetap sebagai muwahhid (yang mengesakan Tuhan), tetapi bukan mukmin. Pendeknya, ia tetap disebut kafir tetapi hanya merupakan kafir nikmat dan bukan kafir milla (agama). Siksaan yang bakal mereka terima di akhirat nanti adalah kekal di dalam neraka bersama orang-orang kafir lainnya.
aliran Murji’ah
Berdasarkan pandangan mereka tentang iman, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari mengklasifikasikan aliran teologi Murji’ah menjadi 12 subsekte, yaitu Al-jahmiyah, Ash-Salihiyah, Al-Yunisiyah, Asy-Syimriyah, As-Saubaniyah, An-Najjariyah, Al-Kailaniyah bin Syabib dan pengikutnya, Abu Hanifa dan pengikutnya, At-Tumaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karramiyah. Sementara itu, Harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah esktrim (Murji’ah Bid’ah).
Untuk memilih mana subsekte yang ekstrim atau moderat, Harun Nasution menyebutkan bahwa subsekte Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam kalbu. Oleh kerena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pendangan Tuhan.
Di antara kalangan Murji’ah yang berpendapat senada adalah subsekte Al-Jahmiyah, As-Salihiyah, dan Al-Yunusiyah, mereka berpendapat bahwa iman adalah tashdiq secara kalbu saja, atau ma’rifah (mengetahui) Allah dengan kalbu, bukan secara demonstratif, naik dalam ucapan maupun tindakan. Oleh kerena itu, jika seseorang telah beriman dalam hatinya, ia tetap dipandang sebagai seorang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku seperti Yahudi atau Nasroni. Hal ini di sebabkan oleh keyakinan Murji’ah bahwa iqrar dan amal bukanlah bagian dari iman. Kredo kelompok Murji’ah ekstrim yang terkenal adalah “perbuatan tidak dapat menggugurkan keimanan, sebagaimana ketaatan pun tidak dapat membawa kekufuran”. Dapat disimpulkan bahwa kelompok ini memandang bahwa pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.
Sementara yang dimaksud Murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal di dalamnya, bergantung pada dosa yang dilakukannya. Kendatipun demikian, masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga bebas dari siksa neraka. Ciri khas mereka lainnya adalah  dimasukkannya iqrar sebagai bagian penting dari iman, disamping tashdiq (ma’rifat).
Di antara subsekte Murji’ah yang dimasukkan Harun Nasution dan Ahmad Amin dalam ketagori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Pertimbangannya, pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak ajuh berbeda dengan kelompok Murj’ah moderat lainnya. Ia berpendapat bahwa seorang pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi bukan bararti bahwa dosa yang diperbuatnya tidak berimplikasi. Andaikata masuk neraka, karena Allah menhendakinya, ia tidak akan kekal didalamnya. Di samping itu, iman menurut A bu Hanifah adalah iqrar dan tashdiq. Di tambahkannya pula bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Agaknya hal ini merupakan sikap umum yang ditunjukkan oleh Murj’ah, baik ekstrim maupun moderat seperti Al-Jahmiyah, As-Salihiyah, Asy-Symriyah, dan Al-Gailaniyah. Selanjutnya, Abu Hanifah berpendapat bahwa seluruh umat Islam adalah sama kedudukannya dalam tauhid dan keimanan. Mereka hanya berbeda dari degi intensitas amal perbutannya.
Satu hal yang perlu dicatat adalah seluruh subsekte Murj’ah yang disebutkan oleh Asy’ari, secuali As-Saubaniyah, At-Tuminiyah dan Al-Karramiyah, memasukakn unsur ma’rifah (pengetahuan) dalam konsep iman mereka. Pertanyaannya, apa yang mereka maksudkan dengan ma’rifah? Mereka beranggapan bahwa yang dimaksud dengan ma’tifah adalah cinta kepada Tuhan dan tunduk kepada-Nya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar